Pada tahun 1906, W. Bateson dan R.C Punnet
menemukan bahwa pada persilangan F2 dapat menghasilkan rasio fenotipe 14
: 1 : 1 : 3. Merekamenyilangkan kacang kapri berbunga ungu yang serbuk
sarinya lonjong dengan bunga merah yang serbuk sarinya bulat. Rasio
fenotipe dari keturunan ini menyimpang dari hukum Mendel yang seharusnya
pada keturunan kedua(F2) perbandingan rasionya 9 : 3 : 3 : 1.
Tahun 1910 T.H. Morgan, seorang sarjana Amerika dapat
memecahkan misteri tersebut. Morgan menemukan bahwa kromosom mengandung
banyak gen dan mekanisme pewarisannya menyimpang dari Hukum II Mendel.
Pada lalat buah, sampai saat ini telah diketahui kira-kira ada 5.000
gen, sedangkan lalat buah hanya memiliki 4 pasang kromosom saja.
Berarti, pada sebuah kromosom tidak terdapat sebuah
gen saja, melainkan puluhan bahkan ratusan gen. Pada umumnya, gen
memiliki pekerjaan sendiri-sendiri untuk menumbuhkan sifat, tetapi ada
beberapa gen yang berinteraksi atau dipengaruhi oleh gen lain untuk
menumbuhkan sifat. Gen tersebut mungkin terdapat pada kromosom yang sama
atau pada kromosom yang berbeda.
Interaksi antargen akan menimbulkan perbandingan
fenotipe yang keturunannya menyimpang dari hukum Mendel, keadaan ini
disebut penyimpangan semu hukum Mendel. Jika pada persilangan dihibrid,
menurut Mendel perbandingan fenotipe F2 adalah 9 : 3 : 3 : 1, pada
penyimpangan semu perbandingan tersebut dapat menjadi (9 : 3 : 4), (9 :
7), atau (12 : 3 : 1).
Perbandingan tersebut merupakan modifikasi dari 9 : 3
: 3 : 1. Interaksi gen yang menyebabkan terjadinya penyimpangan hukum
Mendel terdapat 4 bentuk, yaitu atavisme, kriptomeri, polimeri,
epistasis, hipostasis, dan komplementer.
a. Atavisme (Interaksi Gen)
Atavisme atau interaksi bentuk pada pial (jengger)
ayam diungkap pertama kali oleh W. Bateson dan R.C. Punnet. Karakter
jengger tidak hanya diatur oleh satu gen, tetapi oleh dua gen yang
berinteraksi. Pada beberapa jenis ayam, gen R mengatur jengger untuk
bentuk ros, gen P untuk fenotipe pea, gen R dan gen P jika bertemu
membentuk fenotipe walnut. Adapun gen r bertemu p menimbulkan fenotipe
singel.
Berdasarkan hasil persilangan tersebut, kita mendapatkan rasio fenotipe sebagai berikut:
9 Walnut : 3 Ros : 3 Pea : 1 Singel
9 Walnut : 3 Ros : 3 Pea : 1 Singel
Berbeda dengan persilangan yang dilakukan oleh Mendel
dengan kacang ercisnya maka sifat dua buah bentuk jengger dalam satu
ayam sangatlah ganjil. Dengan adanya interaksi antara dua gen dominan
dan gen resesif seluruhnya akan menghasilkan variasi fenotipe baru,
yakni ros dan pea. Gen dominan R yang berinteraksi dengan gen resesif P
akan menghasil- kan bentuk jengger ros dan gen resesif r yang bertemu
dengan gen dominan
P akan menghasilkan bentuk jengger pea. Perbedaan bentuk jengger ayam ini dinamakan dengan atavisme.
Contoh:
Diadakan penyilangan antara ayam berpial pea dan ayam
berpial ros. Anak ayam keturunan F1 ada yang berpial tunggal. Dari
hasil penyilangan ini, bagaimanakah genotipe kedua parentalnya?
Jawab
Diketahui bahwa rrP = pial pea, Rpp = pial ros, RP = pial walnut, dan rrpp = pial singel.
Jawab
Diketahui bahwa rrP = pial pea, Rpp = pial ros, RP = pial walnut, dan rrpp = pial singel.
Kita coba kemungkinan pertama bahwa kedua parentalnya bergenotip heterozigot.
Jadi, genotipe parental yang akan menghasilkan salah satu keturunan berpial tunggal adalah rrPp × Rrpp.
b. Kriptomeri Salah satu
penyimpangan dari hukum Mendel adalah adanya kriptomeri, yaitu gen
dengan sifat dominan yang hanya akan muncul jika hadir bersama dengan
gen dominan lainnya. Peristiwa ini pertama kali diamati oleh Correns
pada saat pertama kali mendapatkan hasil perbandingan persilangan bunga Linaria maroccana
dari galur alaminya yaitu warna merah dan putih. Hasil F1 dari
persilangan tersebut ternyata menghasilkan bunga berwarna ungu
seluruhnya.
Dari hasil persilangan antara generasi F1 berwarna ungu ini, dihasilkan
generasi Linaria maroccana dengan perbandingan F2 keseluruhan antara bunga warna ungu : merah : putih adalah 9 : 3 : 4.
generasi Linaria maroccana dengan perbandingan F2 keseluruhan antara bunga warna ungu : merah : putih adalah 9 : 3 : 4.
Setelah dilakukan penelitian, warna bunga merah ini
disebabkan oleh antosianin, yakni suatu pigmen yang berada dalam bunga.
Bunga berwarna merah diidentifikasi sebagai bunga yang tidak memiliki
antosianin. Dari penelitian lebih jauh, ternyata warna merah disebabkan
oleh antosianin yang hadir dalam kondisi sel yang asam dan jika hadir
dalam kondisi basa akan dihasilkan bunga dengan warna ungu. Bunga tanpa
antosianin akan tetap berwarna putih jika hadir dalam kondisi asam
ataupun basa. Bunga merah ini bersifat dominan terhadap bunga putih yang
tidak berantosianin.
Jika kita misalkan bunga dengan antosianin adalah A
dan bunga tanpa antosianin adalah a, sedangkan pengendali sifat
sitoplasma basa adalah B dan pengendali sitoplasma bersuasana asam
adalah b, persilangan antara bunga putih dengan bunga merah hingga
dihasilkan keturunan kedua sebagai berikut.
AABB, 2 AABb
2 AaBB, 4 AaBb = 9 ungu
AAbb, 2 Aabb = 3 merah
aaBB, 2 aaBb, aabb = 4 putih
2 AaBB, 4 AaBb = 9 ungu
AAbb, 2 Aabb = 3 merah
aaBB, 2 aaBb, aabb = 4 putih
c. Polimeri
Salah satu tujuan dari persilangan adalah menghasilkan varietas yang diinginkan atau hadirnya varietas baru. Dari persilangan yang dilakukan oleh Nelson Ehle pada gandum dengan warna biji merah dengan putih, ia menemukan variasi warna merah yang dihasilkan pada keturunannya.
Salah satu tujuan dari persilangan adalah menghasilkan varietas yang diinginkan atau hadirnya varietas baru. Dari persilangan yang dilakukan oleh Nelson Ehle pada gandum dengan warna biji merah dengan putih, ia menemukan variasi warna merah yang dihasilkan pada keturunannya.
Peristiwa ini mirip dengan persilangan dihibrid tidak
dominan sempurna yang menghasilkan warna peralihan seperti merah muda.
Hanya saja, warna yang dihasilkan ini tidak hanya dikontrol oleh satu
pasang gen saja, melainkan oleh dua gen yang berbeda lokus, namun masih
memengaruhi terhadap sifat yang sama. Peristiwa ini dinamakan dengan
polimeri.
Pada contoh kasus persilangan antara biji gandum berwarna merah dengan
biji gandum berwarna putih dapat Anda perhatikan pada bagan berikut.
biji gandum berwarna putih dapat Anda perhatikan pada bagan berikut.
Hasil persilangan di atas menghasilkan perbandingan
fenotipe 15 kulit biji berwarna merah dan hanya satu kulit biji berwarna
putih. Warna merah dihasilkan oleh gen dominan yang terkandung di dalam
gandum tersebut, baik M1 maupun M2.
Pada kenyataannya, warna merah yang dihasilkan sangat
bervariasi, mulai dari warna merah tua, merah sedang, merah muda,
hingga merah pudar mendekati putih. Semakin banyak gen dominan yang
menyusunnya, semakin merah juga warna kulit gandum tersebut.
Peristiwa polimeri ini melibatkan beberapa gen yang
berada di dalam lokus berbeda namun memengaruhi satu sifat yang sama.
Pada kasus warna kulit biji gandum ini, efek dari hadirnya gen dominan
bersifat akumulatif terhadap penampakan warna merah. Jadi, semakin
banyak gen dominan pada organisme, akan semakin merah juga dihasilkan
warna kulit biji gandumnya.
d. Epistasis dan Hipostasis
Dalam interaksi beberapa gen ini, kadang salah satu
gen bersifat menutupi baik terhadap alelnya dan alel lainnya. Sifat ini
dikenal dengan nama epistasis dan hipostatis. Epistasis adalah sifat
yang menutupi, sedangkan hipostasis adalah sifat yang ditutupi.
Pasangan gen yang menutup sifat lain tersebut dapat
berupa gen resesif atau gen dominan. Apabila pasangan gen dominan yang
menyebabkan epistasis, prosesnya dinamakan dengan epistasis dominan,
sedangkan jika penyebabnya adalah pasangan gen resesif, prosesnya
dinamakan dengan epistasis resesif.
Peristiwa epistasis ini dapat ditemukan pada pembentukan warna biji tanaman sejenis gandum dan pembentukan warna kulit labu (Cucurbita pepo). Pada
pembentukan warna kulit biji gandum, Nelson Ehle menyilangkan dua
varietas gandum warna kulit biji hitam dengan warna kulit biji kuning.
Nelson Ehle adalah seorang peneliti yang pertama kali
mengamati pengaruh epistasis dan hipostatis pada pembentukan warna
kulit biji gandum. Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa 100% warna
kulit biji yang dihasilkan adalah hitam.
Dari diagram tersebut dapat kita peroleh perbandingan fenotipenya, yaitu 12 hitam : 3 kuning : 1 putih.
Dapat dilihat pada persilangan ini, setiap kemunculan
gen H dominan maka fenotipe yang dihasilkannya adalah langsung warna
biji hitam. Warna biji kuning hanya akan hadir apabila gen dominan K
bertemu dengan gen resesif h, sedangkan warna putih disebabkan oleh
interaksi sesama gen resesif. Dengan demikian, gen dominan H bersifat
epistasis terhadap gen K sehingga peristiwa ini dinamakan dengan
epistasis dominan.
Peristiwa epistasis lainnya dapat ditemukan pada
pembentukan warna rambut tikus. Warna hitam pada rambut tikus disebabkan
oleh adanya gen R dan C bersama, sedangkan warna krem disebabkan oleh
rr dan C. Apabila terdapat gen cc, akan dihasilkan warna albino.
Perhatikan diagram berikut.
Persilangan antartikus berwarna hitam homozigot
dengan tikus berwarna albino menghasilkan generasi pertama F1 tikus
berwarna hitam semua.
Berdasarkan hasil persilangan kedua, ternyata dihasilkan rasio fenotipe 9 hitam : 3 krem : 4 albino
Kita dapat melihat, adanya gen resesif cc menyebabkan
semua warna rambut tikus albino. Adapun kombinansi gen dominan
menyebabkan warna hitam. Hadirnya gen dominan C menyebabkan warna rambut
tikus krem.
e. Komplementer
Salah satu tipe interaksi gen-gen pada organisme
adalah saling men- dukung munculnya suatu fenotipe atau sifat. W.
Bateson dan R.C. Punnet yang bekerja pada bunga Lathyrus adoratus
menemukan kenyataan ini.
Mereka melakukan persilangan sesama bunga putih dan
menghasilkan keturunan F2 bunga berwana ungu seluruhnya. Pada
persilangan bunga-bunga berwarna ungu F2, ternyata dihasilkan bunga
dengan warna putih dalam jumlah yang banyak dan berbeda dengan perkiraan
sebelumnya, baik hukum Mendel atau sifat kriptomeri.
Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh keduanya
mengungkapkan ada dua gen yang berinteraksi memengaruhi warna bunga,
yakni gen yang mengontrol munculnya bahan pigmen (C) dan gen yang
mengaktifkan bahan tersebut (P). Jika keduanya tidak hadir bersamaan,
tentu tidak saling melengkapi antara sifat satu dengan yang lainnya dan
menghasilkan bunga dengan warna putih (tidak berpigmen). Apabila tidak
ada bahan pigmen, tentu tidak akan muncul warna, meskipun ada bahan
pengaktif pigmennya.
Begitupun sebaliknya, apabila tidak ada pengaktif
pigmen maka pigmen yang telah ada tidak akan dimunculkan dan tetap
menghasilkan bunga tanpa pigmen (berwarna putih). Persilangan yang
dilakukan oleh Bateson dan Punnet dapat diamati pada diagram berikut
ini.
Sifat yang dihasilkan oleh interaksi gen yang saling
melengkapi dan bekerja sama ini dinamakan dengan komplementer.
Ketidakhadiran sifat dominan pada suatu pasangan gen tidak akan
memunculkan sifat fenotipe dan hanya akan muncul apabila hadir
bersama-sama dalam pasangan gen dominannya.